Pagi-pagi bangun aku langsung keluar cari air minum buat masak Indomie. Dari penginapannya ga dapat sarapan. Walaupun dapat, dingin-dingin begini lebih milih makan indomie. Di luar ga ada warung yang buka. Akhirnya aku jalan sedikit dan keliatan ada warung yang malu-malu buka. Langsung borong aqua buat masak dan bekal di perjalanan.

Jam 9 kami sudah check-out dan menuju kawasan wisata yang letaknya ga jauh dari penginapan. Sebelum masuk ke kawasan wisata Dieng Plateau, ada pos kecil dimana kami distop dan bayar karcis tanda masuk terlebih dahulu. Entah bagaimana menghitungnya, kami berempat di dalam mobil dikenakan biaya Rp. 20.000,- dan diberi 2 karcis tanda masuk dengan tarif @Rp. 8.000,- yang nantinya bisa dipergunakan sebagai tanda masuk ke Dieng Plateau Theater.

tarif-masuk-wisata-dieng

Beberapa meter dari pos tersebut ada tempat parkir mobil dan ada 2 wisata yang terdapat di sana, Telaga Warna dan Wana Wisata Petak 9 Dieng. Kami mengunjungi Telaga Warna terlebih dulu. Di sini sebenarnya ada 2 telaga, yaitu Telaga Warna dan Telaga Pengilon.  HTM-nya Rp. 5.000,-/orang untuk hari biasa dan Rp. 7.500,-/orang untuk hari libur. Di situ ada seorang bapak yang nawarin untuk menjadi pemandu. Tadinya kami ragu-ragu, tapi si bapak bilang kalau ga pakai pemandu nanti bingung keliling-keliling di dalam sana. Akhirnya kami putuskan pakai jasa si bapak itu. Namanya Pak Tolip (kalau dari belakang dibaca pilot :D ). Tarif pemandu Rp. 50.000,-.

 peta-telaga-warna-dieng

Benar saja, di dalam area Telaga Warna minim petunjuk. Banyak jalan bercabang tapi ga ada petunjuk. Dan untungnya Pak Tolip ini sepertinya hobi forografi juga, jadi kami puas banget ditunjukin spot-spot bagus untuk foto sekalian difotoin. Berasa bikin foto prewed, eh postwed :D

 

Telaga warna ini dapat berubah warna karena adanya perbedaan ketinggian kandungan sulfur disetiap tempat dan jenis ganggang yang hidup di dalamnya.

Telaga warna ini dapat berubah warna karena adanya perbedaan ketinggian kandungan sulfur disetiap tempat dan jenis ganggang yang hidup di dalamnya.

1475552222475314755523426844

Sambil berkeliling, pak Tolip juga bercerita mengenai legenda anak gimbal. Tahu dong rambut gimbal? Itu tuh yang seperti Bob Marley.
Jadi di Dataran Tinggi Dieng ini ada anak-anak yang rambutnya gimbal. Rambut gimbalnya ini bukan dari sejak lahir, tapi baru muncul setelah anak tersebut menderita sakit demam/panas yang tinggi. Nah, salah satu anak Pak Tolip ini ada yang rambutnya gimbal. Padahal pak Tolip dan istri dulunya bukan anak gimbal dan anak-anaknya yang lain ga ada yang gimbal. Fenomena ini memang bisa terjadi secara random pada orang-orang yang mempunyai garis keturunan dari Dieng. Bagaimana kalau itu terjadi pada anak keturunan asli Dieng tapi sudah tidak tinggal di Dieng lagi? Bisa saja itu terjadi. Paling tetangganya mikir, duh kasian ni anak dibawa ke salon mana sama mamanya sehingga rambutnya bisa kaya gitu. Hihi.

Anak-anak berambut gimbal ini dipercaya merupakan titipan Kyai Kolodete. Kyai Kolodete merupakan punggawa kerajaan Mataram Islam yang ditugaskan oleh kerajaan untuk mempersiapkan pemerintahan di daerah Wonosobo dan sekitarnya. Sesampai di Dataran Tinggi Dieng, Kyai Kolodete dan istrinya, Ni Roro Ronce mendapat wahyu dari Ratu Pantai Selatan untuk membawa masyarakat Dieng menuju kesejahteraan. Tolak ukur kesejateraannya yaitu ditandai dengan adanya anak-anak berambut gimbal. Sejak itulah muncul anak-anak berambut gimbal.

Rambut gimbal ini bisa kembali lurus bila keinginan anak tersebut dipenuhi. Tapi bukan sembarang keinginan. Pada saat anak tersebut bangun tidur di pagi hari, orang tua anak tersebut akan menanyakan pertanyaan mengenai apa yang diinginkan. Jawaban pertama yang diminta anak, itulah yang harus dipenuhi. Permintaannya sangat bervariasi, dari permintaan yang ecek-ecek seperti minta dibelikan es oleh tetangganya (iya, harus tetangganya yang beli!), sampai ada yang minta kepala ayahnya sendiri. Jadi, tidak semua permintaan bisa langsung dipenuhi bahkan ada yang tetap gimbal sampai meninggal.

Rambut gimbal ini juga tidak boleh dibersihkan atau dipotong seenaknya, harus ada keinginan dari si anak sendiri. Kemudian ada juga ritual yang dijalankan oleh para tetua adat berupa napak tilas ke 24 tempat dimana Kyai Kolodete dan Ni Roro Ronce pernah berkunjung. Pemotongan rambut diadakan di komplek Candi Arjuna dengan mempersembahkan sesaji dan tarian-tarian kepada yang maha kuasa. Pemotongan dilakukan oleh sesepuh atau pejabat sekitar. Rambut-rambut yang telah dipotong kemudian dilarung , biasanya di telaga sekitar Dieng.

Belakangan ritual ini juga diadakan pada saat diadakannya Dieng Culture Festival. Tahun ini merupakan DCF yang ke-7 dan diadakan tanggal 5-7 Agustus 2016. Ribuan wisatawan, baik lokal maupun mancanegara, hadir di sini. Kata Pak Tolip, suhu udara di bulan Agustus biasanya paling dingin. Bisa mencapai -4°C pada waktu malam. Buat yang mau nonton DCF, siap-siap bawa baju anget, selimut dan booking penginapan jauh-jauh hari ya..

Eh, jadi inget Mbah Surip. Mbah Surip keturunan masyarakat Dieng bukan ya?

One comment on “Telogo Warno, Dieng

  1. Pingback: Batu Pandang Ratapan Angin, Dieng | My Fourleafclover

Leave a reply

required

*