Dari Tegallalang, kami melanjutkan perjalanan menuju Desa Penglipuran. Desa Penglipuran adalah salah satu desa adat di Kabupaten Bangli, Bali, yang masyarakatnya yang masih menjalankan dan melestarikan budaya tradisional Bali dalam kehidupan mereka sehari-hari. Nama desa Penglipuran sendiri berasal dari kata “Pengeling” dan “Pura” yang bermakna mengenang tempat suci para leluhur.
Desa Penglipuran menerapkan konsep ramah lingkungan. Selain bersih dan rapi, kendaraan bermotor, baik motor maupun mobil, tidak diperkenankan masuk ke kawasan pemukiman. Kendaraan bermotor hanya bisa masuk sampai pelataran parkir yang telah disediakan.
Semua bangunan rumah di desa ini tampak mirip satu sama lain, dengan arsitektur bangunan yang mengikuti konsep Tri Hita Karana, yang merupakan filosofi masyarakat Bali mengenai keseimbangan hubungan antara Tuhan, manusia ,dan lingkungannya. Setiap rumah mempunyai sebuah pintu gerbang beratapkan bambu yang lebarnya hanya muat 1 orang dewasa yang disebut angkul-angkul. Penggunaan bambu baik untuk atap, dinding, dll merupakan hal yang lumrah karena desa Penglipuran dikelilingi oleh hutan bambu. Bambu dari Desa Penglipuran merupakan salah satu bambu terbaik yang terdapat di Bali. Masyarakat percaya bahwa hutan tersebut tidak tumbuh sendiri melainkan di tanam oleh pendahulu mereka. Oleh sebab itu bambu dianggap sebagai simbol akar sejarah mereka.
Tata letak Desa Penglipuran sangat dipengaruhi oleh Tri Mandala, dimana lahan dibagi menjadi 3 zona sesuai dengan nilai kesuciannya. Hal yang dianggap paling suci akan ditempatkan ke arah Gunung Agung (tempat yang paling suci di Bali) dan hal yang paling tidak suci akan ditempatkan ke arah laut. 3 zona tersebut adalah Utama Mandala, yaitu tempat yang paling suci dan berada di paling utara. Di tempat ini terdapat Pura Puseh Desa yang digunakan untuk memuja Dewa Brahma (dewa pencipta) dan Pura Bale Agung untuk memuja Dewa Wisnu (dewa pemelihara). Zona ke-dua adalah zona untuk manusia yang disebut Madya Mandala. Disini warga Desa penglipuran akan tinggal bersama dengan keluarganya di sebuah bangungan yang disebut sebagai “pekarangan”. Zona yang terakhir disebut Nista Mandala yang berada di paling selatan dimana terdapat kuburan desa dan Pura Dalem, tempat pemujaan Dewa Siwa (dewa pelebur).
Sebagai desa wisata, warga Desa Penglipuran tunduk pada peraturan. Semua keuntungan yang didapat akan dialokasikan untuk pembangungan desa. Setiap rumah diberikan kesempatan untuk berjualan makanan, suvenir atau bahkan menyediakan homestay, yang nantinya sebagian keuntungan harus diberikan untuk mendukung pembangunan desa.